Rabu, 22 April 2020

Menceritakan Filosofi Wayang Sangkuni

Sangkuni, atau yang dalam ejaan Sanskerta disebut Shakuni (Dewanagari: Ĺšakuni) atau Saubala (patronim dari Subala) adalah seorang tokoh antagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan paman para Korawa dari pihak ibu.
Sangkuni terkenal sebagai tokoh licik yang selalu menghasut para Korawa agar memusuhi Pandawa. Ia berhasil merebut Kerajaan Indraprastha dari tangan para Pandawa melalui sebuah permainan dadu.
Menurut Mahabharata, Sangkuni merupakan personifikasi dari Dwaparayuga, yaitu masa kekacauan di muka Bumi, pendahulu zaman kegelapan atau Kaliyuga. Dalam pewayangan Jawa, Sangkuni sering dieja dengan nama Sengkuni. Ketika para Korawa berkuasa di Kerajaan Hastina, ia diangkat sebagai patih. Dalam pewayangan Sunda, ia juga dikenal dengan nama Sangkuning.
Dalam cerita Wayang Mahabarata Sengkuni adalah Mahapatih sekali gus merangkap penasehat raja di Kerajaan Astina yang dikuasai keluarga Kurawa. Patih Sengkuni terkenal dengan prinsip hidupnya yang ekstrem: biarlah orang lain menderita yang penting hidupnya bahagia. Dengan prinsip hidup seperti itulah Sengkuni menjalani karirnya: munafik, licin, licik, culas, hasut, penuh tipu muslihat.
Baik dalam versi Mahabharata maupun versi pewayanagan, Sangkuni merupakan penasihat utama Duryodana, pemimpin para Korawa. Berbagai jenis tipu muslihat dan kelicikan ia jalankan demi menyingkirkan para Pandawa.
Dalam Mahabharata bagian pertama atau Adiparwa, Sangkuni menciptakan kebakaran di Gedung Jatugreha, tempat para Pandawa bermalam di dekat Hutan Waranawata. Namun para Pandawa dan ibu mereka, yaitu Kunti berhasil meloloskan diri dari kematian. Dalam pewayangan, peristiwa ini terkenal dengan nama Bale Sigala-Gala.
Usaha Sengkuni yang paling sukses adalah merebut Indraprastha dari tangan para Pandawa melalui permainan dadu melawan pihak Korawa. Kisah ini terdapat dalam Mahabharata bagian kedua, atau Sabhaparwa.
Peristiwa tersebut disebabkan oleh rasa iri hati Duryodana atas keberhasilan para Pandawa membangun Indraprastha yang jauh lebih indah daripada Hastinapura. Atas saran Sangkuni, ia mengundang para Pandawa untuk bermain dadu di Hastinapura.
Dalam permainan itu Sangkuni bertindak sebagai pelempar dadu Korawa. Dengan menggunakan ilmu sihirnya, ia berhasil mengalahkan para Pandawa. Sedikit demi sedikit, harta benda para Pandawa jatuh ke tangan Duryodana, termasuk istana Indraprastha dan istri mereka, Dropadi.
Hebatnya pula, Sengkuni adalah pemilik ajian Pancasona, sebuah ilmu kedigdayaan yang membuatnya sakti madraguna: punya daya tarik, kebal terhadap segala jenis senjata, bahkan bila tubuhnya terputuspun tubuhnya bisa tersambung (utuh) kembali. Maka jadilah Sengkuni sebagai sosok manusia jahat yang sulit ditaklukkan.
Mengingat cerita wayang adalah filsafat yang dikemas dalam kesenian, maka sosok Sengkuni dengan Ajian Pancasonanya hanyalah potret (gambaran) karakter manusia sepanjang masa.
Dia adalah symbol kemunafikan, keserakahan, arogansi, dan keangkaramurkaan. Kapan pun dan dimana pun di dunia ini, manusia-manusia berkarakter Sengkuni akan selalu ada, bahkan di sekitar kita kini dan di sini.
Sengkuni adalah symbol sosok manusia cerdik-terdidik, cerdas dan pandai, trampil serta memiliki daya tarik (pesona). Itu sebabnya sosok seperti ini mudah meraih simpati, mendapat kepercayaan, dan gampang merekrut pengikut.
Hanya Bima yang Bisa Membunuh Sengkuni
Di akhir kisah Perang Baratayudha, ketika sebagaian besar keluarga Kurawa dan Pandawa sudah gugur di medan Kurusetra, giliran Sengkuni menemui ajalnya di tangan Bima dengan senjata Kuku Pancanaka. Apa itu Pancanaka?
Legenda pewayangan menceritakan sebagai berikut. Saat Bima lahir dari rahim ibunya, Dewi Kunti, sang jabang bayi masih terbungkus selaput ketuban. Anehnya, bungkusan ketuban itu tidak pecah-pecah meski sudah dicoba untuk dirobek dengan beragam senjata. Ketika bungkusan ketuban itu sudah berusia 12 tahun datanglah Gajah Setu Sena, gajah dewata yang sangat kuat dan sakti.
Setu Sena pun tanpa kesulitan berhasil merobek bungkusan itu dengan gadingnya, tetapi si jabang bayi segera menangkap kedua gading Setu Sena dan mematahkannya. Gading patah, tetapi ajaibnya justru menyatu di kedua jempol si jabang bayi Bima menjadi Kuku Pancanaka. Kuku itulah kelak menjadi senjata sakti Bima karena selain gadingnya, sukma Gajah Setu Sena pun turut menyatu di tubuh Bima.
Dengan Kuku Pancanaka yang terbuat dari gading gajah kayangan itulah Bima ditakdirkan berhasil membunuh Sengkuni, patih licik yang telah membuat Bima bersaudara, Pandawa, menderita lahir bathin: kehilangan tahta dan terusir dari istana.
Apa kelebihan Bima dengan Kuku Pancanakanya? Dalam dunia pewayanan, Bima digambarkan sebagai sosok kesatria sejati: gagah berani, tak punya rasa takut, tegas, loyal, setia, jujur, tidak suka basa-basi.
Sedangkan Kuku Pancanaka secara filosofis memiliki makna “kukuh” (teguh dan kuat keyakinan serta berlatih); panca = lima; naka = emas / tujuan, bisa juga dari naga=kuasa; artinya paugeran/moral/kekuatan/daya dasar. Lima paugeran dapat berupa: 1. pengendalian nafsu membunuh/angkara 2. Pengendalian nafsu makan minum 3. Pengendalian nafsu seks 4. pengendalian nafsu kesenangan indrawi 5. Pengendalian nafsu mencuri/merugikan orang lain. (KSN )
Keistimewaan Sengkuni
Saya rasa sebagian dari kita pasti mengenal tokoh dalam mahabrata yang bernama Sengkuni. Sengkuni dikenal sebagai sosok pria yang licik, jahat, penuh tipu muslihat, “tukang kompor”, penyayang, cerdas, memiliki motivasi tinggi, setia.
Jika anda merasa bahwa beberapa penjelasan sifat diatas ada yang meleset, maka disinilah saya akan membahasnya.
Sengkuni dalam kisah mahabrata adalah paman dari korawa dan kakak Gandari. sebagai seorang paman yang menyayangi keponakannya, kegiatan favoritnya adalah menemani keponakannya. Hampir setiap keputusan dan tindakan yang diambil keponakannya baik duryodana ataupun dursasana untuk menjegal pandawa berlandaskan atas pemikiran brilian sengkuni. Salah satu contohnya adalah membakar tempat pandawa menginap dan memberikan jalan untuk pandawa menjadi penghuni tetap hutan selama 12 tahun dan 1 tahun istimewa  yang membuat mereka menjadi tidak dikenal.
Untuk orang awam penggemar berat pandawa, tindakan sengkuni sangatlah biadab dan lahan basah untuk meneteskan air mata. Tapi tunggu dulu, sebagai manusia yang menilai sekarang adalah jaman modern, kita tidak boleh langsung melakukan judge, ada baiknya dan bahkan menurut saya berpikirlah “Thinking out of the box”. Thinking out of the box adalah cara berpikir diluar dari kebanyakan orang, berpikir dengan cara berbeda, berpikir tidak harus memiliki kendaraan yang sama dengan tetangga, berpikir tidak harus memiliki kendaraan yang memiliki warna yang sama dengan orang kebanyakan. It is same and absolutly flat.
Jika melihat dari dasar atas semua tindakannya, sengkuni mendasarinya atas rasa sayang  yang luar biasa besar atas keponaknnya,  dia ingin keponakannya menjadi seorang raja, ingin keponakannya bahagia, sekalipun berbagai hal menghadang akan dia hadapi.
Berkat rasa sayang yang luar biasa ini, dan motivasi untuk menjadikan keponakannya menjadi seorang raja, sengkuni bertransformasi menjadi seorang yang memiliki banyak akal dan cerdas. Sengkuni selalu memiliki pemikiran yang maju, selangkah lebih maju dibandingkan pandawa. Hal ini berdasarkan bagaimana ide-idenya untuk menjegal pandawa yang notabene sangatlah kuat penuh, dengan perlindungan dan cerminan moral yang sempurna. Kabar gembiranya sengkuni selalu berhasil mengrecoki hidup pandawa.
Untuk hal kesetiaan, sengkuni juga mendapat acungan jempol, sampai perang bratayudha berlangsung, sengkuni masih tetap setia menemani keponakannya, tidak perduli akan pasti kalah dan mati, dia tetap menemani keponakannya. Hal yang dikalukan sengkuni berbeda jauh dengan tokoh-tokoh antagonis yang dinilai memiliki keistimewaan dalam sifat licik. Mereka akan berpegangan erat bagaikan paku bumi saat seseorang dalam keadaan diatas dan menjadi sepatu kualitas KW yang tidak tahan lama dan useless.
Dalam kaitan kehidupan sehari-hari, nyawa sengkuni dapat dilihat dalam hal membeli produk barang berdasarkan brand. Apakah poduk itu palsu atau original, banyak yang kurang perduli, asalkan brand sudah terpampang dan harga cocok, deal, walaupun diluar itu masih banyak yang tidak mementingkan brand tetapi kualiatas.
Kaitan lain, dalam hal kegiatan belajar mengajar. Seorang siswa yang menginginkan nilai sempurna dalam mata pelajaran yang tidak dia kuasai namun, mata pelajaran itu menurut beberapa orang adalah hal yang penting dan indikator tingkat kepintaran seseorang, maka dia akan melakukan berbagai hal untuk mencapainya, termasuk mencontek.
Disini kita bisa lihat bahwa semua tindakan yang dilakukan sengkuni tidak murni atas nilai negatif, malahan sebagian berdasar nilai yang banyak orang kagumi sebagai nilai positif, seperti, sayang, setia dan motivasi. Lalu kenapa semua hal tersebut menjadi terlihat jahat, buruk, dan menggemaskan?
Jawabannya adalah karena seorang seperti sengkuni adalah orang yang baik di tempat yang salah. Sengkuni tidak akan terlihat jahat atau buruk jika dia dan keponakannya tidak memiliki hubungan dengan pandawa. Sengkuni akan terlihat baik jika keponakannya tidak menginginkan menjadi raja
Dengan ini, dengan cara thinking out of the box, kita akan dapat melihat kelebihan seseorang ataupun sesuatu, kita dapat menghargai, atau bahkan mendapatkan referensi atau ide-ide yang dapat diaplikasikan tentunya di tempat yang tepat dan waktu yang tepat.

Sebab Human Indonesia Suka Gampang Terkena Hoax

JAKARTA, KOMPAS.com — Penyebaran berita bohong atau sering disebut hoax kini tengah menjadi persoalan yang cukup serius di Indonesia. Pasalnya, hoax menjadi salah satu pemicu fenomena putusnya pertemanan, gesekan, dan permusuhan. Informasi yang bersifat hoax menyebar dengan cepat baik melalui saluran media sosial maupun grup di aplikasi chatting, misalnya WhatsApp, BlackBerry Messenger, dan masih banyak lagi. Mengapa banyak orang yang mudah percaya dengan informasi-informasi hoax dan mengapa pula penyebarannya begitu masif meski kebenarannya belum dapat dipastikan? Menurut pandangan psikologis, ada dua faktor yang dapat menyebabkan seseorang cenderung mudah percaya pada hoax.

“Orang lebih cenderung percaya hoax jika informasinya sesuai dengan opini atau sikap yang dimiliki. Misal seseorang memang sudah tidak setuju terhadap kelompok tertentu, produk, atau kebijakan tertentu. Ketika ada informasi yang dapat mengafirmasi opini dan sikapnya tersebut, maka ia mudah percaya,” ujar Laras Sekarasih, PhD, dosen Psikologi Media dari Universitas Indonesia, saat dihubungi Kompas.com. Hal tersebut, menurut Laras, juga berlaku pada kondisi sebaliknya. Seseorang yang terlalu suka terhadap kelompok, produk, dan kebijakan tertentu, jika menerima informasi yang sesuai dengan apa yang ia percayai, maka keinginan untuk melakukan pengecekan kebenaran terlebih dahulu menjadi berkurang. Secara natural, perasaan positif akan timbul di dalam diri seseorang ketika ada yang mengafirmasi apa yang dipercayai. Perasaan terafirmasi tersebut juga menjadi pemicu seseorang dengan mudahnya meneruskan informasi hoax ke pihak lain.

Penyebaran hoax, selain karena adanya perasaan terafirmasi, juga dipengaruhi oleh anonimitas pesan hoax itu sendiri. “Sering kali ada awalan pesan ‘sekadar share dari grup sebelah’. Anonimitas ini menimbulkan pemikiran bahwa jika informasinya salah, bukan tanggung jawab saya. Saya sekadar share,” ujarnya lagi. Terbatasnya pengetahuan Alasan kedua bagi seseorang mudah percaya pada hoax, lanjut Laras, bisa juga disebabkan terbatasnya pengetahuan. “Tidak adanya prior knowledge tentang informasi yang diterima bisa jadi memengaruhi seseorang untuk menjadi mudah percaya,” katanya. Ia mencontohkan informasi yang ramai disebarkan melalui broadcast message berisi ajakan untuk mengunduh aplikasi tertentu atau donasi melalui perusahaan tertentu. Kepercayaan terhadap informasi-informasi tersebut bisa jadi dikarenakan tidak ada pengetahuan sebelumnya mengenai aplikasi atau perusahaan yang dimaksud.

Fakta menariknya, tidak ada satu pun orang yang benar-benar imun terhadap hoax. Siapa saja bisa menjadi korban sesatnya informasi hoax. “Ketika berbicara soal media sosial, media digital, saya berpendapat, kita harus bedakan antara kemampuan mengevaluasi informasi dengan kemampuan mengoperasikan gawai. Seseorang yang tech savvy belum tentu information literate,” ujarnya. Oleh karena itu, secara teoretis, menurut Laras, rentan atau tidaknya seseorang terhadap hoax lebih tergantung pada kemampuan berpikir kritis, mengevaluasi informasi, dan literasi media, bukan hanya kemahiran memanfaatkan teknologi informasi. "Hoax" memberi dampak psikologis Laras mengatakan, secara umum hoax memiliki daya untuk mengubah dan memperkuat sikap atau persepsi yang dimiliki seseorang terhadap suatu hal. Bisa jadi ketidaksetujuan terhadap kebijakan tertentu, orang tertentu, kelompok tertentu, dan sebaliknya. Namun, khusus informasi-informasi hoax yang bersifat negatif dapat menyebabkan kecemasan berlebih. “Informasi hoax yang negatif menimbulkan rasa takut terhadap dunia luar, ada kecemasan berlebih,” katanya.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengapa Banyak Orang Mudah Percaya Berita "Hoax"?", https://nasional.kompas.com/read/2017/01/23/18181951/mengapa.banyak.orang.mudah.percaya.berita.hoax.?page=all.
Penulis : Sheila Respati

Beginilah Kalau Indonesia Belum Siap di LOKCDOWN!!!

KOMPAS.com - Lockdown digaungkan menjadi salah satu alternatif yang baik diambil untuk mengatasi kasus wabah Covid-19 di berbagai negara. Namun, pemerintah Indonesia tidak mengambil kebijakan itu. Lantas kenapa pemerintah Indonesia tidak mengambil kebijakan lockdown sebagai solusi untuk mengatasi kasus Covid-19 yang sudah melanda negeri ini? Deputi V Staf Kepresidenan Republik Indonesia, Jaleswari Pramodhawardani menyampaikan, pemerintah tidak mengambil kebijakan untuk lockdown karena menyesuaikan banyak aspek di masyarakat Indonesia ini sendiri. "Berbicara lockdown, terminologi kita (Indonesia) tidak mengenal itu. Adanya karantina wilayah, tapi harus dengan kalkulasi yang sesuai," kata Jaleswari dalam diskusi online bertajuk Covid-19: Tantangan Saat Ini dan Alternatif Solusi Berbasis Bukti oleh Mata Garuda, Senin (23/4/2020).

 Menurut dia, tidak semua negara akan baik dan berhasil dalam menghadapi Covid-19 dengan melakukan lockdown. Dia memberi contoh, India dianggap belum berhasil menjadikan lockdown sebagai solusi terbaik mengatasi wabah Covid-19 yang melanda negaranya. Belajar dari kebijakan yang diambil oleh negara lain mengenai lockdown ini, dikatakan Jaleswari, membuat presiden menegaskan bahwa tidak boleh memutuskan sesuatu hanya berdasarkan apa yang populer dilakukan di negara lain Akan tetapi, tetap harus memperhatikan dan mempertimbangkan bagaimana budaya, kondisi sosial masyarakat terkhusus di Indonesia sendiri, barulah memutuskan suatu kebijakan, agar tak menyesal pada akhirnya. "Implikasi dan dampaknya ke masyarakat bawah harus dikalkulasikan," ujar dia. Adapun, kalkulasi sesuai atau tepat di Indonesia dalam menghadapi Covid-19 ini, kata Jaleswari, adalah mempertimbangkan dan memperhitungkan dengan matang mengenai ekonomi masyarakat menengah ke bawah, di mana tidak sedikit yang hidupnya bergantung pada kerja harian.

Masyarakat kategori ini dianggap menjadi yang paling terdampak dari pandemi Covid-19 saat ini Oleh sebab itu, kata dia, penyelamatan jiwa sama pentingnya dengan penyelamatan ekonomi. "Masyarakat punya hak untuk memperoleh penghasilan. Maka, penyebaran Covid-19 ini harus ditangani dengan cermat," ujar dia. Beberapa kawasan seperti Tegal sudah melakukan lockdown, namun secara terminologi Indonesia tidak mengenal lockdown, melainkan karantina wilayah, di mana karantina wilayah perlu dilakukan kalkulasi yang tepat. Seluruh gubernur sudah dipanggil oleh presiden RI dan lebih ditekankan untuk menerapkan social distancing karena masih memikirkan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mencari kebutuhan. Kebijakan tentang karantina wilayah ada di UU No 6 tahun 2018 yang menunjukkan beberapa jenis karantina seperti rumah, wilayah, rumah saki, dan pembatasan sosial berskala besar. Dituturkan Jaleswari, secara praktiknya pemerintah sudah melakukan berbagai langkah-langkah dalam UU Karantina kesehatan seperti physical distancing, kebijakan work from home, pembatalan UN, dan pembatasan kerumunan. Tidak menetapkan lockdown dan lebih berfokus pada karantina wilayah, menurut Jaleswari bukanlah tanpa melihat beragam faktor lain di Indonesia selain menjaga kestabilan ekonomi masyarakat menengah ke bawah saja. Berbagai faktor yang memengaruhi kebijakan Indonesia Berikut beberapa aspek di Indonesia yang memengaruhi kebijakan itu:












Wali Kota Dedy Yon Supriyono dan anggota Forkompimda Kota Tegal usai menutup akses perbatasan Kota dan Kabupaten Tegal di Kelurahan Debong, Tegal Selatan, Minggu (30/3/2020)(KOMPAS.com/Tresno Setiadi)




1. Aspek sosial budaya

Pada aspek sosial budaya ini, rahasia umum yang diketahui banyak lini masyarakat adalah tingkat disiplin yang rendah, komunalisme tinggi, dan mayoritas bergerak di sektor ekonomi. 


2. Aspek wilayah 

Indonesia sebagai negara yang geografisnya dianggap besar dan terdiri dari ribuan pulau ini, memiliki pintu perbatasan negara sangat banyak, terlebih pintu perbatasan yang ilegal. Beberapa kota masih menjadi pintu lalu lintas logistik ke luar negeri dan dari satu pulau ke pulau lainnya.


3. Anggaran

 Menghadapi wabah Covid-19 ini, juga tidak luput dari perlunya dilakukan pemfokusan ulang dan realokasi anggaran untuk percepatan penanganan Covid-19. Setidaknya, ada tiga fokus utama yang dilakukan pada kegiatan dan realokasi anggaran yaitu untuk penanganan kesehatan, social safety net dan stimulus usaha khususnya UMKM.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Indonesia Tak Pilih Lockdown sebagai Solusi, Ini Alasannya...", https://www.kompas.com/sains/read/2020/04/02/110000123/indonesia-tak-pilih-lockdown-sebagai-solusi-ini-alasannya-?page=2.
Penulis : Ellyvon Pranita
Editor : Gloria Setyvani Putri