Sangkuni, atau yang dalam ejaan Sanskerta disebut Shakuni (Dewanagari: Śakuni) atau Saubala (patronim dari Subala) adalah seorang tokoh antagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan paman para Korawa dari pihak ibu.
Sangkuni terkenal sebagai tokoh licik yang selalu menghasut para Korawa agar memusuhi Pandawa. Ia berhasil merebut Kerajaan Indraprastha dari tangan para Pandawa melalui sebuah permainan dadu.
Menurut Mahabharata, Sangkuni merupakan personifikasi dari Dwaparayuga, yaitu masa kekacauan di muka Bumi, pendahulu zaman kegelapan atau Kaliyuga. Dalam pewayangan Jawa, Sangkuni sering dieja dengan nama Sengkuni. Ketika para Korawa berkuasa di Kerajaan Hastina, ia diangkat sebagai patih. Dalam pewayangan Sunda, ia juga dikenal dengan nama Sangkuning.
Dalam cerita Wayang Mahabarata Sengkuni adalah Mahapatih sekali gus merangkap penasehat raja di Kerajaan Astina yang dikuasai keluarga Kurawa. Patih Sengkuni terkenal dengan prinsip hidupnya yang ekstrem: biarlah orang lain menderita yang penting hidupnya bahagia. Dengan prinsip hidup seperti itulah Sengkuni menjalani karirnya: munafik, licin, licik, culas, hasut, penuh tipu muslihat.
Baik dalam versi Mahabharata maupun versi pewayanagan, Sangkuni merupakan penasihat utama Duryodana, pemimpin para Korawa. Berbagai jenis tipu muslihat dan kelicikan ia jalankan demi menyingkirkan para Pandawa.
Dalam Mahabharata bagian pertama atau Adiparwa, Sangkuni menciptakan kebakaran di Gedung Jatugreha, tempat para Pandawa bermalam di dekat Hutan Waranawata. Namun para Pandawa dan ibu mereka, yaitu Kunti berhasil meloloskan diri dari kematian. Dalam pewayangan, peristiwa ini terkenal dengan nama Bale Sigala-Gala.
Usaha Sengkuni yang paling sukses adalah merebut Indraprastha dari tangan para Pandawa melalui permainan dadu melawan pihak Korawa. Kisah ini terdapat dalam Mahabharata bagian kedua, atau Sabhaparwa.
Peristiwa tersebut disebabkan oleh rasa iri hati Duryodana atas keberhasilan para Pandawa membangun Indraprastha yang jauh lebih indah daripada Hastinapura. Atas saran Sangkuni, ia mengundang para Pandawa untuk bermain dadu di Hastinapura.
Dalam permainan itu Sangkuni bertindak sebagai pelempar dadu Korawa. Dengan menggunakan ilmu sihirnya, ia berhasil mengalahkan para Pandawa. Sedikit demi sedikit, harta benda para Pandawa jatuh ke tangan Duryodana, termasuk istana Indraprastha dan istri mereka, Dropadi.
Hebatnya pula, Sengkuni adalah pemilik ajian Pancasona, sebuah ilmu kedigdayaan yang membuatnya sakti madraguna: punya daya tarik, kebal terhadap segala jenis senjata, bahkan bila tubuhnya terputuspun tubuhnya bisa tersambung (utuh) kembali. Maka jadilah Sengkuni sebagai sosok manusia jahat yang sulit ditaklukkan.
Mengingat cerita wayang adalah filsafat yang dikemas dalam kesenian, maka sosok Sengkuni dengan Ajian Pancasonanya hanyalah potret (gambaran) karakter manusia sepanjang masa.
Dia adalah symbol kemunafikan, keserakahan, arogansi, dan keangkaramurkaan. Kapan pun dan dimana pun di dunia ini, manusia-manusia berkarakter Sengkuni akan selalu ada, bahkan di sekitar kita kini dan di sini.
Sengkuni adalah symbol sosok manusia cerdik-terdidik, cerdas dan pandai, trampil serta memiliki daya tarik (pesona). Itu sebabnya sosok seperti ini mudah meraih simpati, mendapat kepercayaan, dan gampang merekrut pengikut.
Hanya Bima yang Bisa Membunuh Sengkuni
Di akhir kisah Perang Baratayudha, ketika sebagaian besar keluarga Kurawa dan Pandawa sudah gugur di medan Kurusetra, giliran Sengkuni menemui ajalnya di tangan Bima dengan senjata Kuku Pancanaka. Apa itu Pancanaka?
Di akhir kisah Perang Baratayudha, ketika sebagaian besar keluarga Kurawa dan Pandawa sudah gugur di medan Kurusetra, giliran Sengkuni menemui ajalnya di tangan Bima dengan senjata Kuku Pancanaka. Apa itu Pancanaka?
Legenda pewayangan menceritakan sebagai berikut. Saat Bima lahir dari rahim ibunya, Dewi Kunti, sang jabang bayi masih terbungkus selaput ketuban. Anehnya, bungkusan ketuban itu tidak pecah-pecah meski sudah dicoba untuk dirobek dengan beragam senjata. Ketika bungkusan ketuban itu sudah berusia 12 tahun datanglah Gajah Setu Sena, gajah dewata yang sangat kuat dan sakti.
Setu Sena pun tanpa kesulitan berhasil merobek bungkusan itu dengan gadingnya, tetapi si jabang bayi segera menangkap kedua gading Setu Sena dan mematahkannya. Gading patah, tetapi ajaibnya justru menyatu di kedua jempol si jabang bayi Bima menjadi Kuku Pancanaka. Kuku itulah kelak menjadi senjata sakti Bima karena selain gadingnya, sukma Gajah Setu Sena pun turut menyatu di tubuh Bima.
Dengan Kuku Pancanaka yang terbuat dari gading gajah kayangan itulah Bima ditakdirkan berhasil membunuh Sengkuni, patih licik yang telah membuat Bima bersaudara, Pandawa, menderita lahir bathin: kehilangan tahta dan terusir dari istana.
Apa kelebihan Bima dengan Kuku Pancanakanya? Dalam dunia pewayanan, Bima digambarkan sebagai sosok kesatria sejati: gagah berani, tak punya rasa takut, tegas, loyal, setia, jujur, tidak suka basa-basi.
Sedangkan Kuku Pancanaka secara filosofis memiliki makna “kukuh” (teguh dan kuat keyakinan serta berlatih); panca = lima; naka = emas / tujuan, bisa juga dari naga=kuasa; artinya paugeran/moral/kekuatan/daya dasar. Lima paugeran dapat berupa: 1. pengendalian nafsu membunuh/angkara 2. Pengendalian nafsu makan minum 3. Pengendalian nafsu seks 4. pengendalian nafsu kesenangan indrawi 5. Pengendalian nafsu mencuri/merugikan orang lain. (KSN )
Keistimewaan Sengkuni
Saya rasa sebagian dari kita pasti mengenal tokoh dalam mahabrata yang bernama Sengkuni. Sengkuni dikenal sebagai sosok pria yang licik, jahat, penuh tipu muslihat, “tukang kompor”, penyayang, cerdas, memiliki motivasi tinggi, setia.
Jika anda merasa bahwa beberapa penjelasan sifat diatas ada yang meleset, maka disinilah saya akan membahasnya.
Sengkuni dalam kisah mahabrata adalah paman dari korawa dan kakak Gandari. sebagai seorang paman yang menyayangi keponakannya, kegiatan favoritnya adalah menemani keponakannya. Hampir setiap keputusan dan tindakan yang diambil keponakannya baik duryodana ataupun dursasana untuk menjegal pandawa berlandaskan atas pemikiran brilian sengkuni. Salah satu contohnya adalah membakar tempat pandawa menginap dan memberikan jalan untuk pandawa menjadi penghuni tetap hutan selama 12 tahun dan 1 tahun istimewa yang membuat mereka menjadi tidak dikenal.
Untuk orang awam penggemar berat pandawa, tindakan sengkuni sangatlah biadab dan lahan basah untuk meneteskan air mata. Tapi tunggu dulu, sebagai manusia yang menilai sekarang adalah jaman modern, kita tidak boleh langsung melakukan judge, ada baiknya dan bahkan menurut saya berpikirlah “Thinking out of the box”. Thinking out of the box adalah cara berpikir diluar dari kebanyakan orang, berpikir dengan cara berbeda, berpikir tidak harus memiliki kendaraan yang sama dengan tetangga, berpikir tidak harus memiliki kendaraan yang memiliki warna yang sama dengan orang kebanyakan. It is same and absolutly flat.
Jika melihat dari dasar atas semua tindakannya, sengkuni mendasarinya atas rasa sayang yang luar biasa besar atas keponaknnya, dia ingin keponakannya menjadi seorang raja, ingin keponakannya bahagia, sekalipun berbagai hal menghadang akan dia hadapi.
Berkat rasa sayang yang luar biasa ini, dan motivasi untuk menjadikan keponakannya menjadi seorang raja, sengkuni bertransformasi menjadi seorang yang memiliki banyak akal dan cerdas. Sengkuni selalu memiliki pemikiran yang maju, selangkah lebih maju dibandingkan pandawa. Hal ini berdasarkan bagaimana ide-idenya untuk menjegal pandawa yang notabene sangatlah kuat penuh, dengan perlindungan dan cerminan moral yang sempurna. Kabar gembiranya sengkuni selalu berhasil mengrecoki hidup pandawa.
Untuk hal kesetiaan, sengkuni juga mendapat acungan jempol, sampai perang bratayudha berlangsung, sengkuni masih tetap setia menemani keponakannya, tidak perduli akan pasti kalah dan mati, dia tetap menemani keponakannya. Hal yang dikalukan sengkuni berbeda jauh dengan tokoh-tokoh antagonis yang dinilai memiliki keistimewaan dalam sifat licik. Mereka akan berpegangan erat bagaikan paku bumi saat seseorang dalam keadaan diatas dan menjadi sepatu kualitas KW yang tidak tahan lama dan useless.
Dalam kaitan kehidupan sehari-hari, nyawa sengkuni dapat dilihat dalam hal membeli produk barang berdasarkan brand. Apakah poduk itu palsu atau original, banyak yang kurang perduli, asalkan brand sudah terpampang dan harga cocok, deal, walaupun diluar itu masih banyak yang tidak mementingkan brand tetapi kualiatas.
Kaitan lain, dalam hal kegiatan belajar mengajar. Seorang siswa yang menginginkan nilai sempurna dalam mata pelajaran yang tidak dia kuasai namun, mata pelajaran itu menurut beberapa orang adalah hal yang penting dan indikator tingkat kepintaran seseorang, maka dia akan melakukan berbagai hal untuk mencapainya, termasuk mencontek.
Disini kita bisa lihat bahwa semua tindakan yang dilakukan sengkuni tidak murni atas nilai negatif, malahan sebagian berdasar nilai yang banyak orang kagumi sebagai nilai positif, seperti, sayang, setia dan motivasi. Lalu kenapa semua hal tersebut menjadi terlihat jahat, buruk, dan menggemaskan?
Jawabannya adalah karena seorang seperti sengkuni adalah orang yang baik di tempat yang salah. Sengkuni tidak akan terlihat jahat atau buruk jika dia dan keponakannya tidak memiliki hubungan dengan pandawa. Sengkuni akan terlihat baik jika keponakannya tidak menginginkan menjadi raja
Dengan ini, dengan cara thinking out of the box, kita akan dapat melihat kelebihan seseorang ataupun sesuatu, kita dapat menghargai, atau bahkan mendapatkan referensi atau ide-ide yang dapat diaplikasikan tentunya di tempat yang tepat dan waktu yang tepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar